Sunday, October 4, 2015

[ARTIKEL] Ketajaman (Gambar) & Kualitas Image

Tentu kalimat-kalimat seperti ini sudah tidak asing lagi di telinga kita :

“Om, kalau lensa merk A sama lensa merk B tajeman mana ya?”
“Cakep fotonya Om, tajemnya pol!”
“Ane punya duit sekian juta, pingin beli lensa yang paling tajem apa ya?”

Tajem gak sih Om gambarnya?? ampe jurek mata ane liatnya

Kalo ini gimana om? tajem gak?

Ketajaman (image sharpness) memang penting, namun bukan satu-satunya faktor/elemen dalam menentukan “kualitas image”. Entah disadari atau tidak, faktor “ketajaman” lensa seperti menjadi faktor utama, terlebih dengan makin seringnya kita mendengar kalimat-kalimat diatas terucap. Sebenarnya, apa yang dimaksud dengan “ketajaman”? Apakah kita bisa mendefinisikannya? Mari kita bahas lebih lanjut.

MENGENAI “KETAJAMAN” PADA GAMBAR
Dalam mendefinisikan ketajaman gambar, sebenarnya ada dua faktor dasar yang berkontribusi dalam penciptaan persepsi “gambar yang tajam”, yaitu :

1.       Acutance (Daya Pisah)
Saya tidak tahu bahasa Indonesia untuk acutance (saya menyebutnya dengan “Daya Pisah”), namun acutance dapat dijabarkan sebagai tingkat transisi warna pada bagian tepi sebuah obyek (pada gambar). Tingkat acutance yang tinggi menyebabkan bagian tepi (edge) lebih kontras, dan tampak lebih “tajam” di mata kita.
Kita pasti pun pernah mendengar istilah tentang “micro contrast” pada lensa. Faktor acutance dalam hal ini dapat lebih menjelaskan mengenai fenomena micro contrast tersebut. Lensa yang memiliki tingkat acutance tinggi (hi-acutance) cenderung dinilai memiliki “micro contrast” yang tinggi.
Tentu saja, ketajaman / tingkat acutance yang lebih tinggi dapat dicapai melalui olah digital. Kebanyakan software saat ini mengembangkan algoritma khusus untuk dapat meningkatkan nilai acutance, yang berdampak pada hasil akhir gambar yang lebih tajam.

Ilustrasi tentang "Acutance" dan resolusi

2.       Resolusi
Resolusi gambar menentukan ukuran gambar dalam satuan pixel. Semakin besar resolusi gambarnya, semakin besar kemampuannya untuk “memisahkan” elemen pada gambar. Pada salah satu standar uji ketajaman, dimana satuan ukur adalah LPI (line per inch), dapat dilihat bahwa resolusi memiliki peranan dalam menentukan ketajaman gambar.
Resolusi bergantung pada (sensor) kamera yang digunakan, sehingga faktor yang bisa diubah setelah kita mengambil gambar adalah pada tingkat acutance-nya.

crop kumis diatas, lihat acutance & resolusinya bro

Tingkat ketajaman pada suatu sistem (sensor kamera atau lensa) diukur dari Spatial Frequency Response (SFR), atau dikenal juga dengan MTF (Modulation Transfer Function). MTF menunjukkan nilai kontras pada frekuensi spasial tertentu. Kita tidak akan membahas lebih lanjut mengenai metode pengukuran atau apa itu SFR & MTF secara teknis, secara singkatnya, hal ini lah yang dijadikan standar pengukuran untuk tingkat ketajaman.

Ketajaman, dalam keseharian (real life), dipengaruhi oleh :
·         Lensa (desain, pemilihan aperture, kualitas optik, jarak, dll). Lensa yang baik memiliki daya pisah atau acutance yang tinggi.
·         Sensor (resolusi, dan juga anti-aliasing filter).
·         Image processing, baik image processing pada body kamera (sharpening & noise reduction), ataupun post-processing yang dilakukan.
·         Akurasi fokus. Salah satu hal penentu di lapangan. Misfokus kerap menjadi tantangan yang membuat ketajaman menurun secara signifikan.
·         Camera shake. Seperti halnya akurasi fokus. Shake / goyang pada kamera (saat pengambilan gambar) menjadi kendala yang mengurangi tingkat ketajaman secara signifikan.
·         Gangguan atmospheric, atau “pengotor” pada udara, seperti halnya asap, kabut, efek thermal dan hal lainnya. Bagi fotografer landscape, hal ini menjadi kendala yang cukup serius dalam menghasilkan gambar yang “tajam”.

Gambar yang “kurang tajam” dapat ditingkatkan oleh proses penajaman (sharpening), pada post processing, namun proses penajaman pun ada batasnya. Proses penajaman yang berlebihan (over sharpening), malah dapat menurunkan kualitas gambar (image quality), dengan menciptakan efek “halo” pada tepi obyek.

Kalau najemin gambar, jangan lebay bro! yang natural aja

IMAGE QUALITY / KUALITAS GAMBAR
Oke, kita sudah bahas cukup banyak soal “ketajaman gambar”, namun apakah hanya ketajaman yang menjadi satu-satunya faktor dalam menentukan kualitas gambar (image quality)? Ternyata tidak, masih ada hal lain yang perlu diperhatikan untuk mendapatkan kualitas gambar yang baik.

Berikut adalah faktor lain yang berpengaruh pada Kualitas Gambar :

1.       Detail pada tekstur & Noise.
Detail secara teknis adalah variansi pada pixel, yang membuat suatu bidang memiliki banyak informasi, walaupun bidang tersebut bukan bidang tepi (edge). Detail sering dikaitkan erat dengan “noise”. Noise dalam konteks ini bukan lah selalu diartikan sebagai “pengotor” pada gambar, namun sebagai bagian dari detail. Gambar yang terlalu banyak terkena proses noise reduction, kerap terlihat “dull” atau kehilangan detailnya. Noise, dapat dibilang mengganggu, apabila mengakibatkan penyimpangan, seperti penyimpangan warna, dan sebagainya.

Noise membentuk tekstur & memberi struktur pada gambar

2.       Dynamic range, tonal response & Contrast.
Dynamic range adalah rentang dari tingkat pencahayaan yang dapat ditangkap oleh kamera, diukur dalam satuan F-stop, EV (Exposure Value) atau Zone. Hal ini berhubungan juga dengan tingkat noise, dimana noise yang tinggi menandakan rentang dynamic range yang rendah.
Dynamic range,juga berhubungan dengan “tonal response”. Contrast, atau dikenal juga dengan sebutan “gamma”, adalah nilai rata-rata dari kurva tonal response. Apabila dijelaskan secara teknis, memang akan susah dicerna, untuk gambaran mudahnya, kontras yang tinggi pada gambar biasanya berdampak pada berkurangnya dynamic range, hilangnya detail, atau bahkan “clipping” (wash-out) pada area shadow / highlight.
Pada prakteknya, Dynamic range berhubungan erat dengan “pixel pitch size” pada sensor kamera. Hal ini menjelaskan mengapa kamera dengan sensor lebih besar (yang berdampak pada pixel pitch size yang lebih besar pula) memiliki rentang Dynamic Range yang lebih baik, daripada kamera dengan sensor berukuran lebih kecil (pada kondisi pengukuran yang sama), kecuali teknik-teknik tertentu diaplikasikan untuk mendapatkan dynamic range yang lebih luas.

Lihat dynamic range-nya, baca histogramnya

3.       Akurasi Warna / tone
Dari sisi “seni”/art akurasi warna bukan hal kritis, dimana sebagian orang menyukai warna yang nonjok / “punchy” dan sebagian lainnya menyukai warna-warna yang kalem, tergantung kepada preferensi masing-masing. Bagi fotografi yang sifatnya lebih “teknikal” dimana ketepatan / akurasi warna adalah sebuah kebutuhan, hal ini menjadi penting.
Warna / tone seringkali dijadian salah satu acuan bagi “karakter” bagi lensa atau kamera. Pada lensa, tone biasanya dipengaruhi oleh coating yang digunakan, dan pada body kamera, tone dipengaruhi oleh jenis sensor dan image processor yang tertanam pada body.

4.       Distorsi
Distorsi lensa adalah aberasi yang mengakibatkan garis lurus menjadi melengkung, biasa terjadi pada bagian ujung/sudut gambar. Pada beberapa jenis fotografi, hal ini dapat menjadi gangguan, seperti halnya pada fotografi arsitektur, produk, dan juga portrait/beauty. Distorsi dapat berbentuk “barrel” (pada lensa-lensa wide) dan “pincushion” (pada lensa tele). Distorsi dapat dikoreksi oleh image processor pada body kamera, ataupun pada post processing.

5.       Light Falloff (Vignetting) & ketidakseragaman (non-uniformity)
Light falloff atau sering disebut vignetting adalah bagian yang lebih gelap, pada bagian pinggir gambar, yang biasanya disebabkan oleh desain lensa itu sendiri. Biasa terjadi pada lensa sudut lebar (wide atau ultra wide lens), atau pada lensa-lensa dengan bukaan besar.  Vignetting dapat dikoreksi dengan fitur pada body kamera (bila ada/support), atau melalui post processing.
Light falloff juga merupakan salah satu faktor penting dalam pembentukan “karakter” dalam lensa yang kerap dibicarakan. Tidak selamanya light falloff menjadi suatu “kekurangan” yang harus dieliminir, bahkan beberapa orang malah mencari karakter lensa dengan falloff yang kuat untuk memperkuat kesan pada gambarnya.

Nggak usah takut dengan vignette, manfaatkan saja

6.       Blemishes (Bercak).
Bercak, adalah kesalahan yang ditimbulkan dari faktor luar (bukan dari desain lensa atau kamera). Bercak pada gambar dapat timbul karena debu, jamur, atau kotoran pada sensor. Kecacatan pada manufaktur juga dapat menyebabkan hal tersebut. Bercak, walaupun dapat dikoreksi pada post processing, dapat secara signifikan menurunkan kualitas image.

7.       Lateral Chromatic Aberration (LCA)
LCA atau disebut juga sebagai “color fringing”, adalah jenis aberasi lensa yang menyebabkan timbulnya warna tertentu pada bagian tepi (yang memiliki kontras tinggi). Warna yang ditimbulkan bisa bermacam-macam, salah satu warna yang umum dijumpai adalah ungu, sehingga sering juga disebut sebagai “purple fringing”.
Lateral Chromatic Aberration kerap terjadi pada desain lensa asimetris, seperti lensa ultrawide, atau pada lensa telephoto & zoom. Kasus LCA juga kerap terjadi pada lensa dengan bukaan besar, dan dapat dihindari dengan stop-down, atau menghindari area-area/scene dengan kontras tinggi.

CA biasa muncul di area highlight seperti diatas

8.       Veiling Glare / Lens Flare
Veiling glare adalah cahaya “liar” yang tampak pada hasil gambar, disebabkan oleh refleksi antar elemen lensa & bagian dalam (internal part / barrel) dari lensa. Lens Flare, image fogging, atau “ghosting” dapat terjadi pada scene dengan backlight yang kuat, dan terkena langsung ke elemen depan lensa.
Lens Flare, ghosting, dapat dihindari dengan menghindari sumber cahaya yang kuat dari depan (backlight), atau penggunaan shade/lenshood untuk melindungi elemen depan lensa dari paparan cahaya kuat secara langsung.

9.       Color Moire
Color moire adalah warna artifisial (banding) yang muncul pada bagian gambar, khususnya dengan pola berulang (repetitive pattern), seperti bagian dari pakaian (pada foto portrait/close up) atau pada bagian pagar (pada foto landscape, arsitektur). Color moire timbul sebagai hasil dari proses “aliasing” pada sensor image.

10.   Artifacts
Artifact pada gambar dapat timbul apabila terjadi processing yang berlebihan. Visual artifact, dapat berbentuk halo, block, yang terbentuk dari proses penajaman berlebih (oversharpening), pengubahan warna ekstrim, atau kompresi image yang berlebihan.
Artifact dapat dihindari dengan pemrosesan gambar yang tidak berlebihan. Pemrosesan yang dimaksud adalah bisa dari post processing pada komputer, atau pemrosesan pada kamera (settingan pemrosesan gambar pada menu-kamera).

KESIMPULAN
Jadi, kita telah mengenal lebih jauh tentang ketajaman, dan juga faktor-faktor apa saja yang mempengaruhi kualitas gambar. Tentu kita pun akan semakin sadar, bagaimana cara kita dapat meningkatkan kualitas foto kita secara teknis, dan mengenai penilaian kita secara teknis terhadap hasil karya fotografi, bukan hanya soal “tajam” melulu. Semoga bermanfaat.

Salam,
Bosdugem | 087 888 645 088

No comments:

Post a Comment