Wednesday, October 28, 2015

[TEKNIK] Flash Stacking

Pada artikel-artikel sebelumnya kita sudah bahas tentang pentingnya lighting dalam pemotretan, khususnya untuk fotografi produk / komersil. Tata cahaya yang prima membantu obyek agar terlihat lebih menarik / appealing, dan menggugah siapa saja yang menjadi target audiens dari karya foto tersebut.
Menilai karya foto produk / still life yang baik tidak susah. Pada dasarnya siapa saja bisa menilai, apabila suatu produk disajikan dan tampak appealing (lebih menarik / lebih indah), maka bisa dikatakan karya tersebut berhasil/baik, dan berlaku sebaliknya.

Motret obyek mainan gak harus tampak seperti "mainan" dong
Obyek : Kinsmart Scale Model 1/32

Kembali pada pencahayaan, untuk mendapatkan hasil akhir foto produk yang cantik tidak jarang dibutuhkan pencahayaan / tata cahaya yang rumit, tidak sekedar “asal terang” saja. Perangkat lighting digunakan dengan tujuan menampilkan detail/bagian obyek secara lebih dramatis dan secara estetis mudah diterima dan dinikmati oleh audiens. Mengatur lighting sedemikian rupa untuk mencapai tujuan tersebut, pada kenyataannya tidaklah mudah. Tak jarang fotografer membutuhkan banyak titik cahaya, beserta modifier yang bermacam-macam bentuknya untuk dapat mengendalikan jatuhnya cahaya pada obyek, belum lagi memperhitungkan power yang harus disetting pada setiap titik agar hasilnya selaras dan sesuai keinginan. Proses tersebut membutuhkan banyak waktu, tenaga dan juga biaya, tentu saja untuk mendapatkan hasil yang prima.

FLASH STACKING
Pada dasarnya, teknik ini tidak jauh berbeda dengan teknik yang saya jabarkan pada artikel tentang lightpainting sebelumnya, hanya saja pada “flash stacking” kita akan menggunakan flash sebagai sumber cahaya. Pada teknik ini, kita dapat memfungsikan 1 buah flash, dengan hasil “seperti” menggunakan banyak flash (sesuai kebutuhan).

Yup, motret begini cuman modal 1 flash saja

Adapun beberapa keuntungan dari penggunaan teknik light stacking adalah :
1.    Murah, hanya cukup menggunakan 1 flash
2.    Simulasi penggunaan banyak flash, dengan jumlah yang tak terbatas
3.    Mudah, tidak sulit saat setup light karena hanya mengatur 1 flash saja
4.    (Relatif) lebih cepat, bila dibandingkan dengan proses setup banyak titik flash
5.    Kontrol cahaya lebih baik, kita bisa memilih jatuhnya cahaya pada obyek, serta intensitasnya kemudian (saat post processing).

Simulasi penggunaan banyak titik (flash) dilakukan dengan memotret beberapa frame dengan angle cahaya yang berbeda-beda. Frame-frame tersebut nantinya akan digabungkan sehingga hasil akhir adalah hasil pencahayaan gabungan dari 1 flash tersebut dengan angle yang berbeda-beda.


Ya, foto diatas merupakan hasil gabungan dari 6 foto ini

Bagi saya sendiri, alasan utama lebih memilih flash stacking daripada menggunakan banyak titik flash adalah pada kemudahan, workflow yang lebih cepat, dan juga kontrol cahaya lebih baik (tentunya selain pada biaya yang lebih murah).

ALAT YANG DIBUTUHKAN & WORKFLOW
Langsung saja, kita beralih ke alat apa saja yang dibutuhkan untuk praktek Flash Stacking :
1.    Kamera & lensa (tentu saja, kalau engga mau motret pake apa Jek?)
2.    Flash 1 buah. Flash yang bisa diatur powernya lebih disarankan.
3.    Flash trigger. Flash akan digunakan off-shoe/wireless, jadi perlu trigger. Trigger apapun oke selama bisa memancing flash.
4.    Tripod, untuk kamera agar posisinya stabil & memudahkan kita dalam proses stacking.
5.    Light modifier (opsional) bisa berupa softbox, diffuser, snoot atau lainnya.
6.    PC/Laptop dengan software yang mendukung editing multi-layer, saya menggunakan Photoshop yang sudah dikenal secara umum.

Flash yang saya gunakan. Tampak mengenaskan memang.

Sederhana sekali bukan? Sekarang, langsung saja kita bahas mengenai workflow / langkah-langkah eksekusinya :

1.    Atur posisi obyek, kamera diatas tripod. Atur komposisi dan eksposur. Lakukan tes jepret dengan flash untuk mendapatkan setting eksposur yang pas sesuai keinginan.

2.    Lakukan sequent foto, dengan arah flash yang berbeda-beda, sesuai kebutuhan. Posisikan arah flash dengan sudut yang berbeda-beda. Umumnya 6 – 9 angle flash yang berbeda sudah optimal, kecuali ada beberapa bagian yang ingin dicahayai secara lebih spesifik.
Selesai tahap pemotretannya (simpel sekali bukan?), lanjut ke post processing

3.    Buka Photoshop, masukkan file-file sequent foto tadi, tumpuk-tumpuk dalam layer pada 1 foto. Jadikan 1 foto sebagai “base” (dasar).

4.    Masking bagian obyek dengan pencahayaan yang diinginkan pada layer diatasnya, ubah mode blending menjadi “lighten” agar layer dapat memberi highlight tambahan pada base layer. Atur opacity layer sebagai pengaturan “intensitas” cahaya.

Ini bagian pentingnya, memilih bagian untuk masking

Ubah blending layer diatas menjadi "Lighten"

5.    Lakukan hal yang sama pada layer-layer selanjutnya, tentunya dengan pilihan / masking yang berbeda-beda sesuai bagian layer masing-masing.

6.    Apabila sudah selesai, file dapat kita simpan sebagai file PSD, atau kita dapat “merge layer” dan simpan sebagai JPEG. Selesai.

Hasil akhir gabungan 6 gambar diatas!


Contoh lain : lihat bagian yang dicahayai & pemilihan dalam maskingnya

KESIMPULAN
Dengan mencoba, kita bisa merasakan bedanya, bermain dengan cahaya/flash yang biasanya hanya bisa dilakukan kalangan bermodal besar (karena membutuhkan peralatan yang banyak) dan butuh effort & presisi tingkat tinggi, kini dipermudah dengan mengubah workflow & bermain pada level post processing. Teknik ini tentu saja tidak hanya bisa diaplikasikan pada obyek berukuran kecil, namun juga bisa diterapkan pada obyek berukuran lebih besar dengan penggunaan flash strobe yang powernya lebih besar juga.
Jangan pernah menyerah karena keterbatasan alat. Fotografi adalah dunia kreatif, sehingga pada banyak kasus, kreatifitas kitalah yang memberi batasan, bukan pada alat atau kondisi eksternal lainnya.
Semoga bermanfaat!

Salam,
Bosdugem | 087 888 645 088 (WA)

Saturday, October 17, 2015

[ARTIKEL] Evaluasi Terhadap Hasil Karya Fotografi

Melihat judulnya, tentu bahasan kali ini bukanlah bahasan yang “ringan”. Proses evaluasi adalah perlu, dan penting dilakukan, khususnya untuk menjadikan bahan pembelajaran agar ke depannya kita dapat menghasilkan karya-karya yang tentunya (diharapkan) lebih baik, dan baik lagi. Sayangnya, evaluasi itu sendiri bukanlah proses yang sederhana & mudah, mengingat banyaknya aspek yang perlu diperhatikan.

Evaluasi dapat dilakukan oleh diri sendiri, dan juga melalui penilaian pihak (orang) lain. Dalam dunia digital dan dunia “media sosial” saat ini, jejaring sosial sering digunakan sebagai “bahan evaluasi”. Kita tentu tidak asing dengan ungkapan-ungkapan seperti ini :

“Mantab om, fotonya tajam sekali.”
“Bening om, super sekali, ajarin dong.”
“Tone-nya dewa, bagi presetnya om.”
“melintiir.. ampuun suhuuu..”

Komentar seperti itu tentu menyenangkan untuk didengar, namun apakah bisa kita jadikan bahan evaluasi untuk menghasilkan karya yang lebih baik?
Sebelum melangkah lebih jauh, ada baiknya kita bahas sedikit, “elemen” apa saja yang terkandung dalam suatu karya fotografi, dan menjadikannya memiliki nilai lebih dibandingkan karya lainnya.

1.    KONTEN / ISI
Karya foto yang bernilai tinggi sarat akan konten / isi. Karya sering kehilangan makna ketika tidak memiliki isi (atau kurang). Konten menjadi impresi pertama yang ditangkap oleh otak kita, secara sadar atau tidak. Konten yang dimaksud dapat berupa :

a)    Cerita / Pesan.
Foto yang bercerita, memiliki pesan di dalamnya bernilai tinggi. Cerita/pesan tidak harus selalu disampaikan oleh kata-kata. Karya foto yang sarat akan pesan, mampu “bercerita” dengan sendirinya, walaupun hanya disertai sedikit keterangan, atau tanpa keterangan sama sekali. Pesan / cerita yang kuat dapat ditangkap mudah oleh nalar (common sense) siapa saja.

 Ekspresi bisa didapat dari manusia ataupun obyek lainnya

b)    Ekspresi / Emosi.
Kualitas ekspresi dari karya foto dapat mencakup mood, jiwa/soul, atau emosi yang berkomunikasi dan dapat diinterpretasi secara langsung oleh yang melihat karya tersebut. Foto yang memiliki kekuatan emosional tidak selalu harus sarat akan cerita, namun secara langsung dapat menggugah emosi yang melihat ke dalam suasana tertentu.

Benda mati pun punya "mood" dan nilai tersendiri untuk dikomunikasikan

2.    NILAI ESTETIKA
Hal selanjutnya yang dapat kita nilai untuk bahan evaluasi adalah dari sisi estetika (aesthetics). Apa itu estetika? Estetika adalah seperangkat prinsip-prinsip yang berkaitan dengan apresiasi terhadap “keindahan” secara alami (dalam konteks seni). Apa saja yang bisa dimasukkan kedalam kategori tersebut :

a)    Komposisi.
Berbicara komposisi tidak selalu berkaitan dengan “rule of the third”. Mungkin banyak yang langsung mengasosiasikan kata komposisi dengan Hukum sepertiga bidang tersebut, namun kita perlu tahu juga kalau komposisi itu setidaknya terdiri dari; komposisi bidang, komposisi warna, & komposisi tonal (tone). Saya tidak akan menjelaskan detail satu per satu mengenai komposisi tersebut, namun secara sadar atau tidak, kita akan lebih mengapresiasi gambar dengan kaidah komposisi yang baik.

kalau komposisi tone-nya beda, hasil akhir pasti akan jadi beda

b)    Kekuatan Subyek / Obyek
Mungkin masih ada hubungannya dengan komposisi bidang, namun bila kita pisahkan tersendiri, kekuatan subyek/obyek dalam karya foto berbicara tentang seberapa kuat subyek / obyek utama mendominasi obyek lainnya dalam sebuah karya foto. Kekuatan subyek / obyek utama dapat diperkuat dengan cara mengisolasinya dari bagian gambar yang lain. Hal ini biasa dilakukan dengan permainan cahaya, atau juga permainan ruang tajam.

Obyek utama lebih kuat dengan permainan ruang tajam

c)    Seni / Art
Bagian ini sering diartikan ke arah yang lebih “subyektif” oleh sebagian orang, sehingga banyak yang “berlindung” dibalik kata seni, dan “tergantung selera”. Namun apakah arti dari “Seni” tersebut? Saya sendiri bukan sarjana seni, namun kalau saya ambil arti dari kamus, seni adalah ekspresi, atau pengaplikasian dari kemampuan kreatif dan imajinasi seseorang, dalam hal ini (fotografi) dalam bentuk visual, yang dapat diapresiasi dari “keindahan” atau “emosi” yang digambarkan.
Dari terjemahan diatas kita bisa lihat ada kata “dapat diapresiasi dari keindahan atau emosi yang digambarkan”. Jadi jelas, apabila bentuk kemampuan kreatif atau imajinasi seseorang, baik itu yang dituangkan secara visual melalui hasil karya foto mentah, ataupun hasil olahan digital, tidak dapat ditangkap sebagai sesuatu yang “indah” atau memiliki nilai emosi tersendiri, tidak dapat dikatakan karya terebut memiliki nilai seni yang tinggi.

Kemampuan kreatif tiap orang beda-beda. Tujuannya sama, keindahan visual.

3.    KUALITAS TEKNIS (KUALITAS IMAGE) & PRESENTASI AKHIR
Menyangkut hal teknis pemotretan yang berkaitan erat dengan kualitas image, termasuk di dalamnya ada unsur ketajaman, detail, noise, dynamic range, CA, dan sebagainya. Saya tidak membahas lebih detail mengenai image quality, karena sudah saya bahas sebelumnya di PAGE MENGENAI IMAGE QUALITY (Klik disini).
Kualitas teknis sepertinya menjadi hal yang paling banyak dibahas, khususnya pada media sosial. Membahas kualitas teknis suatu karya foto memberikan feedback tentang “peralatan” atau “teknik” yang kita gunakan. Kualitas teknis penting, khususnya bila kita mengejar sebuah “technical perfection” (kesempurnaan teknis).

Kurang tajem, banyak noise. Bodo amat! ngga ngejer tajem juga kok

Presentasi Akhir dalam hal ini mencakup kualitas hasil cetak (apabila penyajian karya foto dalam bentuk cetak), atau kualitas image digital. Dalam konteks dunia digital, dan saat ini kebanyakan foto disajikan secara digital, maka presentasi akhir lebih melibatkan ukuran image, rasio gambar, pemberian watermark, kompresi file, dan kedalaman warna. Spesifikasi lebih tinggi tidak menjamin penyajian yang lebih bagus, ketepatan dengan media yang dituju lebih dibutuhkan untuk apresiasi yang lebih baik terhadap suatu hasil karya.

KESIMPULAN
Setelah membahas hal diatas, kini kita tahu setidaknya poin-poin apa saja yang layak dievaluasi untuk mendapatkan peningkatan atas nilai suatu karya foto di masa yang akan datang. Kita perlu pahami, kegagalan evaluasi adalah salah satu hal yang menyebabkan seolah-olah kita mengalami suatu kemandekan (stuck) dalam karya-karya yang dihasilkan.
Apabila kita pernah bertanya pada diri sendiri, “gue stuck nih.. apa lagi yang mesti gue lakukan? Kurangnya dimana?” sekali lagi, “upgrade gear” bukan satu-satunya jawaban. Mungkin kita bisa memulai dari mengevaluasi kembali karya-karya kita melalui poin-poin di atas.
Semoga bermanfaat!

Salam,
Bosdugem | 087 888 645 088 (WA)

Thursday, October 15, 2015

[GEAR] Softbox Kotak Sepatu (Do It Yourself)

Fotografi berhubungan erat dengan cahaya. Bermain dengan cahaya kerap memberikan hasil yang lebih memuaskan dibandingkan hanya berkutat pada kamera dan lensa.
Foto produk / commercial photography banyak bermain dengan (sumber) cahaya/ lighting. Kata “komersil” biasanya diasosiasikan dengan peralatan yang mahal. Memang, fotografi komersil sangat bergantung pada sumber cahaya yang berkualitas, dan sebenarnya cahaya yang berkualitas tidak selalu harus mahal.

Lighting pake apaan nih? Mahal yak? Engga kok, pake flash + kotak sepatu

Kali ini kita akan membahas salah satu contoh pembuatan asesoris / light modifier berupa softbox dengan bahan alat-alat yang murah dan sering kita jumpai sehari-hari.
Softbox adalah modifier yang berfungsi untuk melembutkan jatuhnya cahaya ke obyek. Area softbox yang luas dan rata melembutkan shadow dan membuat pencahayaan obyek terlihat lebih natural. Softbox pada banyak kasus sangat bermanfaat, salah satunya untuk foto produk.

ALAT YANG DIBUTUHKAN
Langsung saja, mari kita simak apa saja alat yang dibutuhkan :

1.    Kotak sepatu. Yang pernah beli sepatu baru di toko pasti punya.
2.    Kantong kresek putih. Yang pernah belanja ke pasar, minimarket, supermarket, toko kelontong, warung/warteg, pasti punya lah.
3.    Alumunium foil. Beli di pasar / supermarket ada. Butuh sedikit aja, kalau tetangga punya, bisa minta aja.
4.    Lakban / Selotip. Di toko buku, warung, pasar, minimarket ada. Ukuran terserah.
5.    Lem. Merk apapun bisa, yang penting bisa nempel. Carinya juga gampang kok.
6.    Gunting / Cutter. Buat potong-memotong, yang adeknya masih SD suka bikin prakarya, pasti ada.

CARA MEMBUAT
1.    Lubangi kotak sepatu, dengan cutter atau gunting.



2.    Bagian yang dilubangi, tutup dengan platik kresek warna putih. Saya menggunakan 2 lapis agar cahaya “terredam” dengan baik. Gunakan selotip/lakban untuk menempel.


3.    Lapisi bagian dalam kotak dengan alumunium foil (gunakan lem untuk menempel alumunium foil ke dinding kotak sepatu).


4.    Lubangi bagian belakang untuk tempat masuknya moncong flash.


5.    Jadi, siap digunakan. Gampang sekali bukan.


KELEBIHAN SOFTBOX KOTAK SEPATU
·         Murah meriah, mudah bikinnya. Fungsi sama dengan softbox yg mahalan.
·         Ukurannya “pas” untuk produk kecil seperti mainan, perhiasan, jam tangan, hingga makanan / food photography.
·         Multifungsi, bila tidak dipakai, bisa buat tempat penyimpanan alat (flash, cleaning kit, dll)
·         Tidak hanya untuk flash, sumber cahaya bisa menggunakan sumber cahaya lainnya seperti lampu belajar, senter, dan lainnya.

Untuk ukuran, kita bisa gunakan “kotak” lainnya untuk menyesuaikan kebutuhan dan ukuran obyek foto. Untuk ukuran yang lebih besar, kita bisa gunakan kardus mi instan (misalnya) yang mudah didapat, atau kardus-kardus bekas perkakas rumah tangga (kardus televisi, kardus kompor, dll). Bentuk yang beragam bisa kita fungsikan sebagai main light, rim light, dan sebagainya.
Hal tersebut masih dapat dikreasikan dan dikembangkan lebih lanjut sesuai dengan kreatifitas kita masing-masing. Silakan dicoba, selamat berkarya & semoga bermanfaat.

Salam,

Bosdugem | 087 888 645 088 (WA)

Sunday, October 11, 2015

[SHARE] Ide & Teknik Pemotretan Seri Foto “Hot Wheels”

IDE / KONSEP
Akhir-akhir ini saya sering membuat foto-foto dari mainan “hot wheels”, mainan die cast skala 1:64 yang digemari anak-anak karena cukup “eye catching” dan juga terjangkau harganya. Hot Wheels mengeluarkan model dengan jumlah yang sangat beragam, dengan variasi warna yang juga banyak.
Saya sendiri cukup menggemari dunia otomotif sejak kecil, dan gemar memotret obyek yang berhubungan dengan dunia otomotif. Suatu hari, terbersit ide, bahwa mainan berukuran kecil ini sebenarnya pun bisa dijadikan obyek foto yang menarik. Dengan pengaturan yang baik, mainan dengan skala kecil ini dapat dibuat menjadi obyek yang merepresentasikan mobil-mobil balap sungguhan yang sedang “beraksi”.

Menangkap "aksi" dari mainan seperti ini seru sih! 2 hobi jadi satu!

PERENCANAAN
Saat melihat suatu hasil karya, kita akan cenderung berpikir, “ah foto tersebut mudah/bisa direplikasi”. Mereplikasi sesuatu mungkin tidaklah sulit, namun mencoba merealisasikan suatu ide, memiliki tantangan tersendiri.

Tantangan dalam realisasi ide diatas, yang saya rasakan adalah :

1.    Skala mobil yang terlalu kecil, skala 1:64, butuh lensa dengan jarak fokus pendek atau lensa macro untuk memenuhi frame dengan obyek
2.    Pemotretan dengan lensa macro, atau macro filter, akan menghasilkan DOF terlalu tipis. Mengecilkan bukaan hingga setting maksimumnya, juga tidak akan banyak membantu. DOF yang terlalu tipis akan membuat obyek akan tampak layaknya mainan, dan tidak sesuai dengan ide/konsep awal.
3.    Lighting, apabila menggunakan cahaya ambient, akan tentu obyek akan terlihat “flat”, dan mengurangi daya tariknya. Mengingat obyek adalah mainan yang memang tampak “biasa” saja, saya harus bermain lighting untuk membuat obyek lebih menarik.
4.    Obyek sekitar, apabila pemotretan dilakukan diatas meja, tekstur meja akan membuat obyek tidak “terasa” sungguhan.

Membuat "pose" seperti ini harus punya perencanaan tersendiri

Tantangan yang ada, disertai keterbatasan sumber daya yang saya miliki, membuahkan ide-ide baru untuk teknis pengambilan gambar. Saya tertantang untuk menggunakan peralatan yang ada, mudah ditemui, dan tidak merogoh kocek terlalu dalam dalam eksekusinya, dan saya mulai membuat list mengenai peralatan apa saja yang saya butuhkan, sebagai berikut :

·         Kamera, saya menggunakan sony A3000, kamera mirrorless yang biasa saya andalkan untuk berbagai keperluan. Memang bukan kamera “mewah”, tapi fiturnya cukup untuk melakukan tugas ini.
·         Lensa, saya memilih menggunakan Quantaray 50/2.8 Macro, bukan lensa terbaik di kelasnya, saya memilih lensa ini karena ini adalah satu-satunya lensa macro yang saya miliki saat ini. Lensa ini tidak populer, dan saya dapatkan dengan harga murah (dibawah 1 juta rupiah). Lensa ini berfungsi sebagaimana mestinya.
·         Flash, saya menggunakan 2 buah flash Yongnuo. Flash murah meriah yang setia dan dapat diandalkan. Salah satunya saya pasangkan diffuser untuk melembutkan cahaya. Flash saya lengkapi juga dengan wireless trigger, agar dapat diposisikan off shoe. Saya juga menggunakan kertas putih sebagai bouncer untuk memantulkan cahaya flash.
·         Tripod, saya gunakan untuk menjaga kamera tetap stabil dan tidak berubah posisinya.
·         Background, saya menggunakan karton manila hitam, dan selembar kertas amplas sebagai alas untuk mendapatkan “efek” aspal pada hasil pemotretan. Lakban saya gunakan untuk pekerjaan tempel menempel.

TEKNIS PEMOTRETAN
Berikut teknis pemotretan yang saya lakukan :

Setup sederhana dengan alat-alat seadanya (klik untuk gambar lebih besar)

1.    Saya melakukan setup peralatan seperti disebutkan diatas, seperti gambar diatas
2.    Kamera saya letakkan diatas tripod, agar posisi tidak berubah. Untuk melebarkan DoF, daya menggunakan teknik focus stacking. Tripod menjaga posisi agar tidak berubah, agar proses penggabungan gambar saat post-process menjadi lebih mudah.
3.    Flash, saya posisikan di kiri & kanan. Pada sisi kiri, saya gunakan sebagai main light, dengan diffuser untuk memperluas bidang cahaya, dan juga jatuhnya tidak terlalu keras. Flash pada sisi kiri saya gunakan untuk mendapatkan highlight pada lekukan-lekukan mobil.
4.    Setting kamera, saya menggunakan ISO 400, f8, 1/125s, WB Sunny (gambar matahari), dan file JPEG Large. Untuk 1 gambar output, saya menggabungkan (stack) sekitar 10-14 gambar.
5.    Posisi mobil mainan saya lakukan dengan memanfaatkan fitur live view kamera, sehingga posisinya akan tampak langsung di frame.
6.    Post processing saya tidak melakukan banyak hal. Hal utama yang saya lakukan adalah stacking (dengan photomerge pada photoshop) menambahkan background, menambahkan efek “asap” dan cahaya lampu dengan bantuan brush pada photoshop, sedikit burn & dodge, dan color/contrast adjustment.


Masih banyak yang bisa dieksplor dengan obyek seperti ini

Saya melakukan “project” ini atas dasar penyaluran hobi semata, sehingga saya tidak mau menghabiskan banyak sumberdaya (biaya & waktu) untuk pengerjaannya. Per hasil karya foto tersebut, saya menghabiskan waktu rata-rata 1-2 jam dari awal (setup) hingga selesai (editing). Project ini belum selesai, karena belum semua koleksi mainan terfoto, dan saya masih punya beberapa ide “pose” untuk dieksekusi.

Semoga bermanfaat. Tetap berkarya!

Salam,
Bosdugem | 087 888 645 088 (WA)

Saturday, October 10, 2015

[ARTIKEL] Gear & Proses Penciptaan Karya Foto

Kita sebagai fotografer, baik di lingkukan profesional ataupun hobiis, tentu tak jarang mendengar kalau hasil foto selalu dikaitkan dengan “gear”/alat yang dipakai. Hal ini dapat dilihat dari pertanyaan / pernyataan seperti ini :

“fotonya bagus om, pakai kamera / lensa apa nih?”
“hasil gue ga maksimal nih. Gue cuman pake kamera ginian doang.”
“Lagi pingin upgrade nih, biar hasil fotonya ada peningkatan, gak gini-gini aja.”

FAKTOR YANG BERPERAN DALAM PENCIPTAAN KARYA FOTO
Ya ada benernya juga sih, kalau peralatan berpengaruh ke hasil foto. Namun, seberapa besar pengaruh/kontribusinya?
Sebelum kita membahas lebih lanjut, mari kita simak, sebenarnya “faktor” apa aja sih yang berperan dalam proses penciptaan hasil karya foto (image creation process)? Berikut faktor utamanya :


1.    Gear / alat. Hal materiil, termasuk di dalamnya kamera, lensa, peralatan pendukung sepeti lighting tools, dan masih banyak hal lainnya.
2.   Skill / pengalaman. Termasuk didalamnya adalah pengetahuan / knowledge, nilai pengalaman, dan aset intelektual lainnya yang dapat diakumulasikan.
3.    Sense of art. Intuisi, nilai estetis / seni, konsep, pesan, kreativitas, dan hal imateriil & abstrak lainnya. Kreativitas tidak hanya berhubungan dengan hal intelektual (penggunaan teknik), namun juga dapat dihubungkan dengan pemakaian peralatan.
4.    Faktor eksternal yang tidak bisa dikontrol, mencakup moment, cuaca, keberuntungan (luck), kuasa Tuhan, dan lainnya.

Jadi, bisa kita lihat sendiri, kalau gear/alat hanyalah “sebagian” dari faktor yang berperan dalam proses penciptaan gambar. Pertanyaan selanjutnya adalah, faktor mana yang lebih dominan / berperan dalam proses penciptaan gambar tersebut? Jawabannya adalah : tergantung. Ya, tergantung dari jenis fotonya. Misalnya :

·         Beauty shot / portrait. Tidak banyak faktor eksternal yang berperan disini. Ada persyaratan gear minimal, namun persyaratannya cukup rendah, kamera entry level, dengan lensa telezoom atau prime lens yang murah meriah sudah lebih dari cukup. Untuk gear pendukung seperti lighting pun, masih bisa disiasati dengan kreativitas, seperti penggunaan reflektor, diffuser, dan sebagainya. Faktor skill/teknik dan sense of art lebih banyak berperan untuk menghasilkan foto portrait/beauty shot yang enak dipandang mata. Fotografer lebih dituntut kepada pengarahan gaya, pengambilan angle, permainan lighting & post process untuk presentasi akhir karya fotonya.

Gearnya apa ya bro? gear dewa bukan ini?
Bukan bro, Sony A3000 + Tamron 90 Macro + Yongnuo flash aja

·         Street photo. Salah satu aliran fotografi yang bisa dibilang tidak bergantung pada peralatan / gear. Pada dasarnya, apapun yang bisa digunakan untuk menangkap (capture) image, bisa dipakai, termasuk kamera HP. Untuk menghasilkan gambar yang baik, sangat diperlukan sense of art, pengalaman, dan kejelian yang tinggi untuk menangkap momen yang terjadi. Gear dengan spesifikasi tinggi tanpa disertai sense of art dan pengalaman, tidak akan banyak menolong pada kasus ini. Tuntutan pada jenis fotografi ini lebih kepada kejelian & kecekatan fotografer dalam mengabadikan momen atau mengeksploitasi keunikan obyek yang tampak “biasa”, agar dapat dipresentasikan menjadi karya yang menarik.

Pake apa nih?? Leka (baca: Leica) ya? Fuji?
Pake seadanya aja, Nex 3 + nikkor 35/2 

·         Landscape. Aliran fotografi yang menangkap keindahan alam, sepertinya bergantung sekali dengan faktor eksternal. Para landscaper handal membutuhkan pengalaman dan teknik untuk dapat menyiasati kondisi alam yang berubah-ubah. Peralatan yang “dapat diandalkan” juga turut mendukung dalam proses menciptakan gambar yang baik. Ada persyaratan minimal dalam gear dan asesoris pendukung, bagi newbie/newcomer tentu tak harus berkecil hati, karena dengan gear yang minimal pun, mampu menghasilkan karya foto landscape yang baik, apabila disertai dukungan teknik dan kreativitas yang tinggi. Aliran fotografi landscape lebih menuntut dedikasi fotografer yang tinggi demi menunggu “waktu yang tepat” untuk mengambil gambar, spot terbaik, dan juga termasuk perencanaan yang matang.

Pada contoh diatas, saya tidak membahas semua jenis/aliran dalam fotografi, namun dapat kita lihat memang ada “persyaratan minimal” dalam hal gear / alat, dan mengejar spesifikasi tertinggi bukanlah solusi utama, tanpa diiringi dukungan faktor lainnya.
Memang, mencari atau berlomba untuk memiliki gear dengan spesifikasi “dewa” tidak pernah salah, terlebih kalau dompet mengizinkan. Namun, jangan lupa bahwa gear bukanlah satu-satunya faktor yang berperan utama dalam proses penciptaan gambar. Investasikan juga dana dan waktu yang dimiliki untuk meningkatkan skill, pengetahuan, pengalaman melalui buku bacaan, kursus/workshop, dan berlatih dengan referensi dari yang lebih berpengalaman. Asah terus kreativitas & sense of art dengan mencoba hal baru, mencari jalan alternatif, dan membuka pikiran.

Motret produk mesti mahal kan nih? Pake apa nih? Hasselblad + Broncolor ya?
Engga bro, cuma Nex 3 + nikkor 50/1.4 + reflektor putih

PERSYARATAN (GEAR) MINIMAL
Berbicara mengenai “persyaratan gear minimal” untuk mendapatkan hasil yang memadai, berikut beberapa contoh yang bisa dijabarkan, sesuai dengan bidang / aliran fotografinya :

1.    Landscape : Body DSLR / Mirrorless entry level, lensa kit (18-55), tripod, filter set (ND, CPL), cleaning kit.
2.    Portrait, beauty, model : Body DSLR / Mirrorless entry level, lensa kit, lensa prime (50mm) atau telezoom (55-200), Lighting (flash, reflektor, dan lainnya sesuai kebutuhan)
3.    Street photo : Body DSLR / Mirrorless entry level, atau pocket camera. Lensa kit atau lensa prime pancake (range FL 28mm hingga 50mm sudah cukup).
4.    Sport / Wildlife : DSLR (lebih disarankan) entry level, lensa kit, lensa telezoom (setidaknya dengan reach FL 300mm). Untuk kebutuhan lebih “serius” bisa dengan peralatan spek lebih tinggi.
5.    Macro : DSLR / Mirrorless entry level, lensa macro atau lensa kit dengan macro filter, tripod, flash (dengan wireless trigger lebih disarankan)
6.    Product / food / still life : DSLR / Mirrorless entry level, lensa kit, flash dengan wireless trigger, light modifier (diffuser, reflektor, snoot). Flash bisa diganti dengan continous light (misal senter LED) dan tripod.
7.     Wedding / event : DSLR / Mirrorless entry level, lensa kit atau lensa allround zoom, flash.

Street photo pake tele? sah-sah aja kok

Pada dasarnya, tidak ada “pakem” khusus yang harus diikuti, misalnya, untuk street photography, banyak disarankan penggunaan lensa prime dengan range FL 28mm hingga 50mm, namun apabila sang fotografer lebih nyaman menggunakan lensa dengan FL lebih panjang (lensa tele) misalnya, tentu tidak menjadi masalah. Begitu pula dengan kasus lainnya, apabila ada setup lain yang lebih disukai, dan nyaman digunakan, kenapa tidak.

Obyeknya (mainan) murah, kameranya murah (A3000), lensanya murah (Quantaray 50), Flashnya murah (YN 462), hasil belom tentu murahan kan bro

Hal menarik lainnya adalah, dari sisi “gear” selalu ada batas minimal, dan maksimal (yang bisa dibeli). Tidak halnya dengan sisi skill, teknik, kreatifitas, yang sepertinya tidak ada batas untuk pengembangannya. Hal ini dapat dikembangkan terus, dan pada titik tertentu dapat dimanfaatkan untuk menyiasati keterbatasan gear yang dimiliki. Jadi, jangan khawatir bila gear yang dimiliki dirasa "kurang mumpuni", akan selalu ada jalan untuk meningkatkan kualitas hasil foto dengan memainkan skill & kreatifitas.

KESIMPULAN
Dunia fotografi lebih banyak bersinggungan dengan dunia kreatif, sehingga lebih dituntut banyak kreatifitas fotografer, daripada hanya sekedar tuntutan “gear” untuk mendapatkan hasil karya yang dapat diapresiasi dengan baik. Temukan “persyaratan gear minimal” yang dibutuhkan oleh bidang / aliran fotografi yang digeluti, dan kembangkan lebih banyak faktor skill & sense of art untuk mendapatkan peningkatan dalam kualitas hasil karya foto.
Tetap semangat, semoga bermanfaat.

Salam,
Bosdugem | 087 888 645 088 (WA)